Tak hanya terkenal dengan pasar grosir (terutama produk tekstil) terbesar di Indonesia hingga Asia Tenggara, Tanah Abang Jakarta memiliki sebuah masjid yang sudah berumur sangat tua. Masjid tersebut bernama “Masjid Jami’ Al-Makmur Tanah Abang”, namun terkenal juga dengan nama “Masjid Al Makmur” saja.
Masjid Al-Makmur mempunyai sejarah yang sangat berhubungan erat dengan sejarah Tanah Abang Jakarta. Karena sudah berusia ratuan tahun, Masjid Al-Makmur merupakan salah satu Masjid tertua di Jakarta yang masih dijaga dan dirawat hingga saat ini. Pada tahun 1704 Masjid Al-Makmur mulai dibangn oleh bangsawan Kerajaan Islam Mataram pimpinan KH. Muhammad Asyuro.
Pada masanya, Masjid Al-Makmur berada di sekeliling rumah-rumah penduduk. Namun sekarang sangat jarang ditemukan pemukiman penduduk disekitar masjid tersebut karena terdapat berbagai pusat perdagangan Tanah Abang. Seiring dengan perubahan waktu, perkembangan perekonomian di Tanah Abang semakin pesat hingga saat ini. Hal tersebut berdampak pada masjid Al-makmur karena pada bagian halaman Masjid terus tergerus untuk di gunakan sebagai sarana pelebaran jalan maupun sebagai area parkir kendaraan. Hal ini memang sangat memprihatinkan, tapi paling tidak keaslian dari bangunan Masjid tidak sampai dirusak.
Masjid yang penuh dengan nilai sejarah lebih dari 3 abad lalu ini dibangun oleh seorang Ulama berama “KH. Muhammad Asyuro” pada tahun 1704 Masehi, dengan ukuran pertama kali sebesar mushola saja, yaitu sekitar 12 x 8 meter. Sampai pada abad 20 masjid ini terus dijaga oleh keturunan beliau, mulai dari putranya KH. Abdul Murod Asyuro dan KH. Abdul Somad Asyuro.
Tepatnya pada tanggal 30 Agustus 1735 masjid ini selesai dibangun, kemudian dari waktu tersebut juga secara bersamaan Yustinus Vinck, seorang tuan tanah Belanda mulai mendirikan proyek sebuah pasar di Tanah Abang yang hanya buka pada hari sabtu saja. Sampai sekarang julukan “Pasar Sabtu” masih tetap melekat pada pasar di Tanah Abang tersebut.
Pada zaman dulu kampung tanah abang pada masa KH. Muhammad Asyuro hanya terdiri dari beberapa kepala keluarga saja, namun seiring berkembang dan bertambahnya jumlah penduduk, para tokoh masyarakat Tanah Abang mulai bersepakat untuk memperluas Mushola / Langgar tersebut menjadi 44m x 28m. Masjid tersebut kemudian dipugar diatas tanah wakaf dari seorang keturunan arab, “Habib Abu Bakar Bin Muhammad Bin Abdurrahman Al-Habsyi”, sekaligus keturunan langsung dari Rasulullah SAW.
Habib Abu Bakar mewakafkan tanah seluas 1.142 meter persegi, serta mendanai sebagian besar kebutuhan pembangunan masjid saat itu. Beliau juga telah mendirikan yayasan yatim piatu Daarul Aitam yang terletak di satu jalan yang sama dengan masjid.
Dilanjutkan pada tahun 1932, pemugaran masjid diperluas kembali sampai 508 meter persegi kearah utara. Perluasan tersebut berlokasi di tanah yang diwakafkan oleh Salim Bin Muhammad bin Thalib, lalu ditambahkan pula sebidang tanah seluas 525 meter persegi dibagian belakang masjid pada tahun 1953. Sampai saat ini total luas keseluruhan masjid adalah 2.175 meter persegi.
Sedangkan untuk Ranah Arsitektur, gaya bangunan yang diadopsi adalah gaya Timur Tengah dipadukan dengan nuansa modern. Kubah utama berwarna hijau dan bisa dilihat dari segala arah, lalu kesan klasik juga bisa dirasakan pada saat berada dialam masjid. Beberap kusen pintu dan jendela merupakan gaya arsitektur pada sekitar abad 17.
Masjid ini memiliki 2 menara pendek yang mengapit 3 pintu masuk. Sedangkan untuk bagian bawah, terdapat bentuk segi empat yang mengecil, dimana menyerupai topi bishop. Lalu puncak menara tersebut diberi kubah-kubah kecil bawang seperti lazimnya masjid yang berada di Indonesia.
Masjid yang mampu menampung sekitar 5.200 jamaah ini mempunyai 3 makam yang dikeramatkan, yang merupakan makam pendiri serta pewakaf tanah masjid tersebut.