Masjid Jami’ Assalafiyah terletak di Jln. Jatinegara Kaum Raya No. 208, Klender, Jakarta Timur. Masjid ini juga dikenal sebagai Masjid Pangeran Jayakarta, Klender Jawa Timur. Masjid ini pun tidak bisa dipisahkan dari perjuangan Pangeran Jayakarta, Sang Penguasa Terakhir, sebelum kekalahannya dalam perang melawan serangan pasukan VOC – Belanda. Serangan tersebut diluncurkan oleh salah satu pemimpin VOC Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Kekalahan Jayakarta melawan VOC Belanda tersebut berakhir dengan dihancurkannya Jayakarta dan dibangun ulang menjadi pusat pemerintahan VOC dengan nama “Batavia”.
Menurut cerita pada saat itu Pangeran Jayakarta sudah dianggap tewas didalam sumur karena didalam sumur tersebut terdapat jubah dan baju Sang Pangeran, lalu para koloni Belanda memberondong peluru kepada baju yang memang sengaja ditinggalkan di sumur oleh pangeran tersebut. Nyatanya, Sang Pangeran Jayakarta masih hidup dan melarikan diri ke wilayah yang saat ini dikenal dengan Jatinegara Kaum.
Ditempat pelariannya, Pangeran Jayakarta kemudian membuka daerah baru, bahkan putra beliau yang bernama Pangeran Senapati diperintahkan untuk berhijrah dari daerah tersebut untuk lebih menjauhi kerajaan belanda dan juga agar penyebaran agama islam bisa dia lakukan.
Sejarah Masjid Jami’ Assalafiyah
Cerita terjadinya Kota Jakarta dimulai pada sekitar tanggal 22 Juni 1527, diawali dari kemenangan Raden Fatahillah bersama dengan pasukan Demak, Cirebon, dan Banten yang dapat mengusir Portugis yang pada saat itu bersekutu dengan Padjajaran dari Sunda Kelapa. Hari kemenangan Raden Fatahillah tersebutlah yang sampai saat ini dijadikan hari jadi Kota Jakarta.
Lalu berlanjut hingga ke kekuasaan Pangeran Jayakarta yang mengalami kekalahan telak melawan penjajah VOC yang memiliki teknologi yang tinggi. Meskipun terusir dari Batavia, Pangeran Jayakarta bahkan terus menerus berjuang dan belum menyerah. Dalam pelariannya, beliau sampai pada hutan jati sepanjang kali sunter, dan membuat basis pertahanan disana dan akhirnya dinamakan dengan Jati Negara.
Tepatnya pada tahun 1620 Masehi, beliau kemudian mendirikan sebuah masjid dengan 4 tiang soko guru yang diberi nama “Masjid Assalafiyah” atau “Masjid Tertua”. Akhirnya Pangeran Jayakarta sudah dipanggil Yang Maha Kuasa pada tahun 1640 Masehi dan dimakamkan didekat masjid tersebut.
Lalu, pada tahun 1700-an Masehi, Kompleks Pemakaman dan Masjid Assalafiyah dipugar oleh Pangeran Sugeri, Putra dari Sultan Fatah Banten. Pada saat dipugar, peninggalan-peninggalan Pangeran Jayakarta sudah hampir sirna seluruhnya, karena yang tertinggal didalam masjid hanya beberapa kaligrafi arab yang dibentuk menyerupai sarang tawon dan terletak di dalam plafon menara masjid.
Karena memang bangunannya sudah berumur hingga ratusan tahun, tidak heran jika banyak sekali bagian bangunannya yang memang sudah rusak dan harus di pugar keseluruhan. Kini Masjid Assalafiyah ini terlihat seperti masjid modern lainnya, dengan keramik dan marmer yang menutup keseluruhan tembok dan lantainya.
Sedangkan untuk pemugaran kompleks juga turut dilakukan, namun sebelum tanggal 23 Juni 1956 kompleks pemakaman tersebut belum terbuka untuk umum. Jika kita lihat saat ini hampir tidak ada bagian bangunannya yang merupakan bangunan asli, karena pada zaman dulu bangunannya hanya memakai kayu saja.
Disamping masjid, dibangun juga sebuah menara persegi dengan banyka sekali kaca jendela disisinya, dengan atap bersusun dua ditambah dengan simbol bulan sabit pada bagian atapnya, yang menandakan kebudayaan islam.
Masjid ini bisa dibilang masjid tertua didaerah jakarta, meskipun bangunannya sudah tidak asli lagi. Sekaligus menjadi saksi bisu perjuangan para pejuang tanah air yang tidak ingin kebebasan dan kemerdekaannya diinjak-injak oleh belanda.