Masjid Jami’ An-Nawier terletak di Jln. Pekojan Raya No. 71 Gang II, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, DKI Jakarta. Tempat berdiri masjid ini adalah Pekojan, salah satu kota tertua dijakarta yang sudah ada sejak abad ke-18 Masehi. Perkampungan ini pada awalnya dihuni oleh Etnis Benggali dari India yang biasa dikenal dengan sebutan “Koja”, lalu digantikan dengan mayoritas keturunan Arab yang merantau menyebarkan Islam sekaligus berdagang hingga tahun 1950-an.
Meskipun saat ini mayoritas penduduk kampung Pekojan bukan lagi keturunan Arab, namun beberapa musholla dan masjid yang mereka dirikan masih eksis hingga saat ini, padahal umurnya sudah ratusan tahun. Salah satu masjid yang masih berdiri kokoh dan difungsikan hingga saat ini adalah Masjid Jami’ Annawier, yang pertama kali didirikan pada tahun 1760.
Dibagian belakang masjid terdapat sebuah makam dengan nisan “Syarifah Fatimah”, yaitu seorang muslimah yang menyumbangkan lahan tempat dibangunnya masjid tersebut. Masjid ini didirikan pertama kali pada tahun 1760, kemudian di perluas oleh Sayid Abdullah Bin Hussein Alaydrus pada sekitar abad ke-18.
Sejarah Masjid Jami’ An-Nawier
Nama Masjid Jami’ An-Nawier diadopsi dari bahasa arab yang berasal dari kata “An-Nur” atau “Cahaya”, An-Nawier sendiri bermakna “Yang Menerangi”, kemungkinan besar pembangunan masjid ini memang ditujukan untuk memberikan penerangan rokhani untuk tanah air Indonesia yang pada saat itu menjadi jajahan Belanda. Masjid Jami’ An-Nawier Pekojan ini sudah berumur ratusan tahun, tak heran jika pemerintah DKI Jakarta memasukkannya kedalam daftar bangunan bersejarah yang harus dilindungi oleh masyarakat dan pemerintah.
Menurut catatan sejarah, Masjid Jami’ An-Nawier ini dulunya dibangun pada tahun 1760 Masehi hanya sebagai bangunan surau / musholla yang sangat kecil. Lalu pada tahun 1897 Masehi, Syarifah Fatimah mewakafkan sebidang tanah untuk keperluan perluasan bangunan surau tersebut.
Salah satu referensi mengatakan bahwa pada saat terjadi perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825, seorang ulama yang bernama Habib Usman Bin Yahya melakukan perluasan masjid dari 400 meter persegi menjadi 800 meter persegi.
Arsitektural Masjid An-Nawier
Jika dilihat dari bangunan luarnya, Masjid Jami’ An-Nawier memiliki seni bina bangunan yang sangat khas, terlihat dari adopsi berbagai macam gaya bangunannya yaitu China, Timur Tengah dan gaya khas Jawa. Masjid ini tidak memiliki kubah, persis seperti masjid-masjid di Yaman Selatan, lalu Ornamen-ornamen bangunannya lebih mirip dengan ornamen khas negara China yang bisa kita lihat di pintu-pintu dan jendela masjid ini. Sedangkan Aksen pintu dan jendelanya bergaya khas Jawa. Wujud bangunan yang seperti ini ternyata disebabkan oleh kontraktor yang menggarapnya, yaitu kontraktor China dan Moor.
Bahkan, ada beberapa instrumen khas eropa yang terlihat dari pilar penyangga berbentuk silinder dibalut dengan cat putih. Didalam ruang utama terdapat 33 pilar besar nan kokoh yang didirikan untuk menyangga atapnya. Sebelum diperluas dan direnovasi, bangunan masjid tersebut hanya memiliki total 11 pilar tiang penyangga saja.
Uniknya, masjid ini memiliki dua buah mimbar sebagai tempat khutbah. Salah satu mimbar tersebut adalah hadiah dari Sultan Pontianak pada sekitar abad ke-18 Masehi. Luas bangunan Masjid An-Nawier ini sekitar 1.983 meter persegi, dan berdiri disebidang tanah seluas 2.520 meter persegi. Keseluruhan jamaah yang bisa ditampung secara bersamaan berjumlah 2.000 jamaah.
Sampai saat artikel ini dibuat, Masjid Jami’ An-Nawier menjadi masjid tertua dan terbesar di Jakarta Barat. Ciri khas yang bisa langsung kita kenali dari masjid ini adalah sebuah menara yang dibangun mirip mercusuar setinggi 17 meter di bagian luarnya.