Daerah Angke sendiri pernah dikaitkan dengan sejarah kelam pembantaian belanda terhadap kaum muslim Thionghoa. “Ang” berarti “Merah” sedangkan “Ke” berarti “Bangkai”, sehingga dikait-kaitkan dengan memerahnya kali angke akibat darah dari insiden pembantaian tersebut. namun, menurut Denys Lombard, salah seorang sejarawan perancis mengatakan bahwa Angke disini berarti Banjir, karena memang daerah tersebut dulunya sering terjadi bencana banjir.
Mungkin karena letaknya dengan sungai Angke, Masjid Jami’ Al-Anwar justru lebih terkenal dengan nama Masjid Angke. Konon masjid ini pun pernah direnovasi dengan menaikkan lantainya setinggi lima anak tangga, agar air banjir tidak bisa masuk kedalam masjid.
Masjid Jami’ Al-Anwar atau lebih akrab disebut dengan Masjid Angke berdiri pada tanggal 02 April 1761 Masehi, dan dibangun oleh seorang wanita muslim keturunan Tionghoa bernama Ny. Tan Nio. Lokasi masjid ini terletak di Jln. Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid No. 1, Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.
Sejarah Berdirinya Masjid Jami’ Al-Anwar Angke
Menurut catatan sejarah, berdirinya Masjid Angke ini sangat erat kaitannya dengan peristiwa pembantaian etnis Tionghoa pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada zaman Jenderal Adrian Valckenier. Ketegangan antara etnis Tionghoa dengan pemerintah penjajah kala itu memuncak pada tahun 1740, dimana pembantaian hampir keseluruhan etnis muslim Tionghoa dilakukan.
Pembunuhan masal pun dilakukan oleh pasukan belanda atas perintah sang jenderal. Beberapa yang sempat bersembunyi mendapatkan perlindungan dari orang muslim Banten dan hidup bersama hingga tahun 1751. Sisa Etnis Tionghoa tersebut lah yang membangun Masjid Al-Anwar Angke pada tahun 1761, sebagai tempat peribadatan umat muslim dan juga markas para pejuang kemerdekaan RI. Konon, masjid ini juga sering digunakan sebagai tempat perundingan oleh para pejuang dari Banten dan Cirebon.
Arsitektur yang menangani pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dan kesleuruhan dana yang dibutuhkan ditanggung sendiri oleh Ny. Tan Nio.
Sedangkan untuk arsitektur bangunannya saat ini, Masjid Jami’ Al-Anwar Angke dikelilingi pagar tembok dan juga pagar besi pada sisi timur. Luas halaman masjid saat ini adalah 500 meter persegi. Arsitektural bangunannya mengadopsi beberapa bangunan khas Jawa (terlihat pada bagian tajuk), gaya limas (Karpus), gaya Eropa (Pintu dan Jendela). Ruang utama masjid ini dibentuk persegi empat, dan dilamnya terdapat tiang penyangga atap, mihrab dan juga mimbar. Atap masjid ini dibentuk bersusun tumpang dua, berbentuk limas, seperti kebanyakan bangunan masjid khas betawi atau Jawa.
Bangunan tambahan yang ditambahkan pada masjid ini adalah tempat sholat, ruang perpustakaan, tempat wudhu, dan juga ruang untuk belajar mengajar mengaji. Pada sisi utara terdapat ruangan yang difungsikan sebagai kantor sekretariat. Dikomplek masjid ini juga terdapat komplek pemakaman yang terdiri dari tiga kelompok terpisah.
Yang sangat menarik dari masjid ini adalah adopsinya pada 3 arsitektur sekaligus yaitu : Arsitektur Jawa dapat dilihat dari bangunan persegi, atap tumbang, dan tiang penyangga saka guru. Arsitektur Tionghoa dapat dilihat dari Skur Atap bangunan masjid, yang biasanya digunakan sebagai Skur atap pada kelenteng. Arsitektur Eropa dapat dilihat dari beberapa Pintu, Jendela, dan juga ventilasi udara yang ada pada masjid tersebut.
Masjid berbentuk persegi tersebut menempati lahan seluas 500 meter persegi, dan memiliki nilai intrinsik sendiri, terutama dari segi budaya dan juga arsitektur bangunannya yang bisa dibilang sangat unik.