Masjid Jami’ Al-Makmur terletak di Jln. Raden Saleh Raya, RT/RW 03/03, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Tepatnya dibelakang Rumah Sakit PGI Cikini, ditepian kali Ciliwung. Masjid ini juga merupakan salah satu masjid tertua yang ada di DKI Jakarta, karena sudah dibangun pada tahun 1860 silam. Tidak heran jika kemudian masjid ini juga diberi perlindungan sebagai cagar budaya dan warisan sejarah oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Sejarah pembangunan masjid ini juga sangat panjang, karena dibangun pada masa pemerintahan / penjajahan Belanda. Pada saat itu, aktifitas keagamaan juga menjadi larangan tersendiri, apalagi pendirian bangunan baru berupa tempat ibadah umat muslim. Bahkan, perjuangannya pun lebih terasa tatkalah diketahui bahwa keseluruhan dana bantuan pembangunan masjid ini berasal dari swadaya masyarakat saja. Mereka rela mengumpulkan beras sedikit demi sedikit untuk keperluan pendanaan masjid.
Sejarah Masjid Jami’ Cikini Al-Ma’mur
Pada tahun 1860 Masehi, Raden Saleh, salah seorang tokoh besar pada masa itu dan juga dinobatkan sebagai “Bapak Pelukis Indonesia”, membangun sebuah suaru / musholla disamping rumahnya, pada saat beliau masih dalam tahanan rumah belanda.
Lalu, setelah Raden Saleh meninggal dunia, tanah tempat berdirinya masjid ini kemudian dimiliki oleh Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Tanah tersebut kemudian dijual kepada Emma Stching atau Yayasan Ratu Emma dengan harga 100 ribu gulden. Namun, karena yayasan tersebut akan membangun fasilitas umum seperti rumah sakit, maka harga diturunkan menjadi 50 ribu guden saja, namun dengan syarat surau / musholla yang telah ada sebelumnya tidak boleh dibongkar.
Perjanjian kesepakatan tersebut ternyata diingkari oleh pemerintah belanda. Masjid yang dibangun oleh Raden Saleh pada tahun 1860 kemudian digusur ke tepi kali ciliwung.lalu pada tahun 1890, masjid itu dipindahkan ke area milik Sayid Ismali Salam bin Alwi Alatas.
Pada saat itu, masjid yang berdiri ini masih berbahan baku bambu saja. lalu pada tahun 1925, kolonial belanda ingin menggusur kembali masjid tersebut dari wilayahnya saat ini. Niat penggusuran tersebut ternyata menuai kecaman dari berbagai pihak umat muslim yang tergabung didalam Serikat Islam (SI).
Pada akhirnya protes yang terjadi dari masyarakat luas semakin menjadi, dan penggusuran masjid ini pun tidak jadi dilakukan. Bahkan jika ada pemaksaan oleh pihak-pihak Belanda, maka umat islam tidak akan segan-segan mengangkat senjata demi mempertahankan bangunan masjid tersebut.
Lalu setelah kontroversi yang terjadi sudah mulai mereda. Maka pemugaran surau tersebut menjadi sebuah masjid pada tahun 1926 dilakukan dengan dana pembangunanmasjid hanya dari swadasya masyarakat berupa beras saja. meskipun dengan perjuangan yang sangat keras, akhirnya bangunan masjid ini dapat bertahan hingga puluhan tahun.
Perjuangan untuk mempertahankan Masjid Jami’ Cikini Al-Ma’mur ini memang sangat panjang. Pada tahun 1960-an, saat demokrasi menjadi kisruh politik yang kejam (G30S/PKI), tanpa sepengetahuan kepemilikan tanah tempat berdirinya masjid ini diakui milik Dewan Geredja dan disertifikan secara lIegal.
Namun, setelah perjuangan yang begitu keras, akhirnya mulai pada tahun 1993, persengketaan tersebut sudah dilupakan. Bahkan sampai saat ini masjid Cikini masih tetap dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Masjid Cikini memiliki dua unsur bagunan utamanya yaitu satu bangunan masjid asli sebagai inti bangunan utama. Dan pada bagian kedua terdapat “Duplikasi” dari masjid lama, yang diletakkan di sebelah Masjid Jami’ Cikini Al-Ma’mur. Meskipun usianya sudah lumayan tua, namun hingga kini masih difungsikan dengan bak