Masjid Shirothal Mustaqim berdiri disebuah kampung yang disebut “Kampung Masjid”, hal ini merujuk pada masjid yang memang sudah berdiri di Kota Samarinda sejak abad ke-19 silam. Masjid ini juga menjadi masjid tertua di kawasan kota Samarinda dan dibangun tepatnya pada tahun 1881 dengan sebutan “Masjid Jami’. Kemudian, pada tahun 1960, nama masjid ini kemudian diganti menjadi “Masjid Shirotal Mustaqim”.
Bangunan masjid ini berkolasi di Jln. Pangeran Bendahara, Kampung Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Untuk mencapai lokasi ini dari pusat kota samarinda, anda harus menyeberangi Sungai Mahakam terlebih dahulu, karena letaknya memang di seberang sungai.
Sejarah Masjid Shirothal Mustaqim Samarinda
Kota Samarinda pada zaman dahulu dipercayai dibangun oleh orang Bugis dari Kerajaan Gowa setelah dikalahkan oleh Penjajah Belanda pada abad ke-16. Pejuang dari Kerajaan Gowa yang selamat kemudian mengungsi ke daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Kutau pada saat itu. kedatangan pengungsi tersebut disambut dengan baik oleh Raja Kutai, lalu Sang Raja memberikan suatu daerah pemukiman di sekitar wilayah kampung melantai, yaitu suatu daerah didataran rendah yang dapat digunakan untuk Pertanian, Perdagangan, maupun Perikanan karena sangat dekat dengan aliran Sungai Mahakam.
Namun, pemberian tersebut tidak secara Cuma-Cuma, karena pejuang Bugis harus membantu seluruh kepentingan Raja Kutai jika memang dibutuhkan untuk menghadapi musuh yang datang, termasuk penjajah Belanda. Seiring waktu berjalan, dari tahun 1668 mereka menetap hingga beberapa abad, daerah pemukiman pengungsian tersebut lebih dikenal dengan sebutan “Samarinda” yang berarti Sama = Sama dan Rinda = Rendah, atau “Sama Rendah”. Artinya, hak dan kewajiban ditanah tersebut tidak dibeda-bedakan.
Cerita pembangunan masjid dimulai pada tahun 1880, pada saat kawasan pemukiman Bugis sudah dikenal dengan Samarinda. Seorang pedagang muslim yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat, bernama Said Abdurrahman bin Assegaf datang ke Kerajaan Kutai untuk berdagang dan meminta izin untuk menyebarkan agama islam di daerah Samarinda. Melihat ketekunan dan keramahan serta kejujuran yang dibawa oleh Said Abdurrahman, akhirnya Raja Kutai mengijinkannya untuk menyebarkan agama Islam didaerah tersebut, mengingat keseharian penduduknya dipenuhi dengan hal-hal yang tidak berguna, yaitu berjudi dan sabung ayam.
Akhirnya Said Abdurrahman memiliki keinginan kuat untuk merubah segala sesuatu hal buruk yang dilakukan di kampung tersebut dengan membangun sebuah bangunan masjid dipusat kegiatan judi dan sabung ayam tersebut. Yang lebih parahnya, pada saat itu orang-orang Samarinda juga merupakan penyembah berhala / patung.
Akhirnya, pembangunan masjid dimulai pada sekitar tahun 1881 Masehi, dengan perancangan masjid mirip dengan masjid Jawa yaitu memiliki 4 soko guru. 4 soko guru tersebut juga memiliki sejarah tersendiri, yaitu didatangkan dari 4 tempat yang berbeda, yaitu Loa Haur (Gunung Lipan), Gunung Donang Samboja, Gunung Salo Tireng, dan Sungai Karang.
Pembanguan masjid ini terbilang cukup lama karena memakan waktu hingga 10 tahun. Selesai dan diresmikan pada tahun 1891 oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Sulaiman yang sekaligus menjadi imam sholat pertama di Masjid Shirothal Mustaqim.
Kawasan yang semula hanya dipenuhi dengan kegiatan judi dan sabung ayam serta penyembahan berhala tersebut akhirnya bisa menjadi area yang religius, penuh dengan kedamaian Islam. Hal ini juga merupakan suatu hasil gemilang yang telah diraih Said Abdurrahman sebagai tokoh penyebar Islam di daerah Samarinda.