Masjid yang berada di kawasan Jatinegara kaum, klender Jakarta Timur ini memiliki nama asli Masjid Jami’ Assalafiyah. Karena dahulu masjid ini dibangun setelah Pangeran Jayakarta menghindari pengejaran oleh penjajah Belanda. Pada sebuah peperangan, Belanda menganggap bahwa Pangeran Jayakarta telah tewas oleh berondongan peluru pada sebuah sumur di wilayah Mangga Dua saat itu. Padahal yang ada di sumur adalah selembar jubah dan sorban saja.
Dalam pelariannya untuk mengatur strategi dalam melawan penjajah Belanda, Pangeran Jayakarta pada tahun 1620 Masehi membangun sebuah Masjid dengan arsitektur khas Jawa yaitu tiang soko guru, kemudian diberi nama Masjid Jami’ Assalafiyah dengan makna ‘tertua‘.
Masjid Jami’ Assalafiyah juga menjadi tempat peristirahatan terakhir Pangeran Jayakarta yang wafat pada tahun 1640 M dan dimakamkan dekat masjid tersebut. Beberapa kali pemugaran telah dilakukan pada Masjid Jami’ Assalafiyah, pada masa Gurbernur DKI H. Ali Sadikin di tahun 1969 juga diadakan pemugaran yaitu dibangunnya dua lantai masjid dengan dua menara. Kemudian tahun 1992 juga dilakukan pemugaran oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Peninggalan sejarah Masjid Jami’ Assalafiyah banyak yang hilang dan tidak diketahui sampai kini dan yang tersisa adalah arsitektur soko guru dan kaligrafi Arab dengan gaya arsitektur sarang lebah yang berada pada plafon menara masjid. Dengan beberapa kali pemugaran Masjid Jami’ Assalafiyah menjadi terlihat lapang dengan kesan megah karena marmer yang melapisi hampir seluruh dinding masjid.
Masjid tua ini banyak memilki makam, disebelah selatan, utara dan barat. Pada tanggal 23 Juni 1956 kompleks pemakaman dibuka untuk umum yang sebelumnya tidak bisa diakses oleh kalayak umum. Masyarakat pada umumnya juga masih menganggap sumur tua yang ada di Mangga Dua tersebut adalah makam dari Pangeran Jayakarta, sehingga saat inipun sumur tua tersebut di keramatkan.
Padahal fakta sebenarnya Pangeran Jayakarta wafat dan dimakamkan di dekat Masjid Jami’ Assalafiyah di Jatinegara. Departemen Agama RI pada bulan Juli 1964 membiayai pemugaran tempat ziarah makam Pangeran Jayakarta, dan Gurbernur H. Ali Sadikin membiayai pemugaran makam menjadi Taman Pangeran Jayakarta.