Manado adalah salah satu kota yang lumayan padat dan terkenal dengan perdagangan rempah-repah terutama cengkeh dan pala. Puncak keramaiannya pada tahun 1670 dimana Manado terdapat banyak para pedagang dari berbagai daerah di Indonesia turut serta meramaikannya dan menjajakan dagangannya.
Beberapa pedagang yang berdagang di Manado kebanyakan dari Ternate, Tidore, Hitu-Ambon dan beberapa wilayah lainnya selalu memenuhi kota Manado. Disana biasanya digunakan sebagai tempat singgah oleh para pedagang tersebut namun seiring berjalannya waktu mereka pun tinggal dan menetap di Manado. Saat ini lokasi yang mereka tempati berada di sekitar kawasan Pondol tepatnya Jalan Sam Ratulangi.
Karena Manado menjadi sebuah tempat jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat populer, menjadikan kota tersebut menarik bagi para pedagang yang berada di Solo Jawa Tengah. Terutama mereka beragama islam. Tak hanya dari Solo saja, tak sedikit dari mereka berasal dari Surabaya dan ikut menetap di Manado. Pada masanya, tak hanya sebagai pedagang, sebagaian dari mereka juga merupakan pegawai yang bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda.
Lalu sekitar sepuluh tahun kemudian, terdapat sebuah keinginan pindah tempat yang awalnya dari Pondol ke sebuah perkampungan baru. Akhirnya keinginan tersebut disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan lokasi baru tersebut adalah sebuah lokasi yang berada di ujung utara Manado. Disana juga dibangun sebuah tempat beribdah umat muslim karena memang diwilayah tersebut banyak masyarakat yang memeluk agama islam. Pada saat itu hanya sebuah langgar atau masjid yang ukurannya lebih kecil dengan lantainya beralaskan tanah atapnya berasal dari daun rumbia dan dinding langgar tersebut menggunakan anyaman bambu.
Langgar tersebut pada awalnya bernama Soraya. Nama tersebut berasal dari sebuah rumput yang banyak tumbuh di sekitar langgar tersebut. Kemudian pada tahun 1802 langgar Soraya diganti namanya menjadi masjid Awwal Fathul Mubien yang memiliki arti Masjid Pertama Pembuka yang Nyata. Masjid tersebut tepatnya berdiri di kawasan pesisir pantai yang sangat memukau dan indah mempesona.
Dilihat dari bangunannya,masjid Awwal Fathul Mubien terkesan sangat sederhana. Pondasi masjidnya berasald ari batu karang serta lantai dan dinding masjid tersebut berasal dari papan. Masjid Awwal Fathul Mubien pernah mengalami renovasi. Tepatnya pertama kali dilaukan pembaharuanmasjid di tahun 1830 menjadi semakin luas dengan ukuran 8 x 8 meter. Namun meskipun setelah selesai direnovasi, masjid tersebut masih dalam kondisi darurat. Dimana seharusnya sebuah bangunan masjid yang berada dekat dengan pantai harus kokoh menggunakan material yang sangat kuat sehingga masjid tersebut kokoh dari berbagai macam cobaan alam di sekitar pantai tersebut.
Selanjutnya masjid Awwal Fathul Mubien kmebali di renovasi tepatnya di tahun 1990 semakin diperluas menjadi ukuran 8 x 12 meter. Lalu diperluas kembali menjadi 8 x 14 meter. Kemudian lagi-lagi diperluas akhirnya menjadi 26 x 26 meter yang dilakukan antara tahun 1967 hingga tahun 1995. Setelah dilakukan beberapa renovasi, kini masjid Awwal Fathul Mubien sangat berbeda dengan awal didirikannya masjid tersebut. Sekarang masjid ini berdiri megah dengan lantai dan sebagaian dindingnya menggunakan bahan keramik. Tak hanya itu saja, masjid tersebut juga memiliki ukiran kaligrafi yang sangat indah berwarna kuning di bagian depan. Masjid yang berdiri diatas lahan seluas 1916 meter persegi ini memiliki menara yang menjulang tinggi. Ditambah sebuah kubah besarnya menjadi ciri khas sendiri dari bangunan masjid.