Masjid Agung Surakarta atau juga dikenal dengan Masjid Agung Solo pada awal pembangunannya ditujukan sebagai masjid khusus untuk Negara Keraton Surakarta Hadiningrat. Dirawat dan difungsikan oleh pihak anggota keluarga kerajaan. Lalu semua pengurus masjid merupakan abdi dalem Keraton Surakarta, sebagai contoh misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom, dan juga Lurah Muadzin.
Masjid Agung Surakarta / Masjid Agung Solo ini dibangun pertama kali pada tahun 1763 M Oleh Sultan Pakubuwono III. Selesai dan difungsikan pada tahun 1768 M dan berdiri diatas lahan seluas 19.180 meter persegi. Sebagai batas areal masjid dengan areal pemukiman warga, dibangun tembok yang mengelilinya setinggi 3.25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta mirip dengan bangunan masjid di Jawa pada umumnya, yiatu berupa tajug dengan atap tumpang tiga, serta ditambah ornamen mustaka pada puncaknya.
Masjid Agung Surakarta terletak di sebelah Pasar Klewer Surakarta yang terkenal dengan pasar grosir kain, dan juga terletak di sebelah barat Alun-Alun sebelah utara Keraton Kasunanan Surakarta. Tak heran jika setiap hari masjid ini juga tetap ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar untuk menunaikan ibadahnya.
Jika kita menilik dari sejarah, Masjid Agung Surakarta merupakan salah satu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan Syiar agama Islam yang beredar di pulau Jawa, khususnya di Kota Surakarta dan sekitarnya. Bisa dilihat bahwa pada zaman dahulu, Keraton Surakarta sudah sangat maju dimana memiliki keseluruhan aspek yang harus dimiliki oleh sebuah negara maupun kesultanan. Yaitu Masji sebagai unsur agama (sebagai tempat ibadah), kemudian alun-alun sebagai sarana Raja bertemu dengan rakyat luas, dan Pasar (saat ini disebut Pasar Klewer) sebagai pusat kegiatan Ekonomi berlangsung. Struktur seperti ini menunjukkan bahwa Kerajaan Surakarta benar-benar maju dan memperhatikan keseluruhan aspek kehidupan dan kesinambungan antara pihak keraton dengan rakyatnya.
Masjid Agung Surakarta meskipun sudah berumur hampir 300 tahun, ternyata masih dapat berdiri kokoh dan masih difungsikan sebagaimana tempat ibadah umat muslim lainnya. Bahkan bangunannya pun masih terlihat asli tanpa perubahan apapun pada bangunan utamanya. Masjid ini dari satu versi cerita di bangun oleh Raja Surakarta Paku Buwono III pada tahun 1785 M, namun menurut versi lain dari Basid Adnan dan Eko Budihardjo, Masjid Agung Surakarta dibangun pada sekitar tahun 1757 dengan adopsi Masjid Demak. Tepat setelah 12 tahun pindahnya Kasunanan Surakarta ke wilayah desa Sala dari Kartasura.
Menurut cerita tutur masyarakat setempat, konon kubah atau mutaka yang dipasang dibagian atap masjid pada zaman dahulu dilapisi dengan emas murni seberat 7,5 Kg, yaitu terdiri dari 192 keping uang ringgit emas. Namun, karena beberapa kejadian saat ini emas tersebut sudah hilang. Pemasangan kubah emas tersebut diprakarsai oleh Raja Pakubuwono VII bersama dengan Condro Sangkolo pada sekitar tahun 1878 M.
Bentuk ciri khas asli bangunannya tetap dipertahankan meskipun sudah beberapa kali mengalami renovasi. Renovasi pertama dilakukan oleh Pakubuwono IV, lalu dilanjutkan oleh Pakubuwono VII pada tahun 1856. Beberapa bangunan yang dipugar pada saat itu adalah penambahan serambi masjid untuk pertemuan dengan kaum muslim, kemudian ditambahkan pula satu menara untuk adzan dan juga memperbaiki beberapa tempat wudhu dan gapura disekitar.
Pembangunan menara kembali dilakukan pada tahun 1929 yang menghabiskan dana 100.000 gulden, dengan tinggi sekitar 30 meter dan terbuat dari beton bertulang. Pondasinya dibuat dengan beberapa batang kayu cemara, sehingga dapat bertahan sampai saat ini.