Masjid yang terletak di Jln. Masjid Hidayatullah (Karet Depan), Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan ini merupakan Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia pada masa-masa penjajahan belanda.
Masjid ini dulunya sering digunakan sebagai tempat para pejuang berkumpul dan mengatur strategi untuk melawan para penjajah Tanah Air. Menara-menara yang berukuran sangat tinggi dimasjid tersebut juga sering digunakan untuk mengintai musuh yang mendekat. Pengiriman senjata ke daerah Cikampek dan Karawang juga dilaksanakan dari Masjid Hidayatullah ini.
Salah satu bukti otentik tentang penggunaan masjid sebagai pusat perjuangan melawan penjajah pada kala itu adalah penangkapan H. Saidi, salah seorang Pahlawan Betawi yang meninggal tahun 1950-an. Makam pahlawan tersebut juga berada pada areal sekitar masjid Hidayatullah.
Masjid Hidayatullah didirikan pada tahun 1747 dengan sentuhan kebudayaan Thionghoa, diatas tanah yang diwakafkan seluas 3000 meter persegi, oleh Mohammad Yusuf, salah satu pengusaha batik ternama di daerah Karet pada masa penjajahan.
Pembangunan masjid ini memiliki dua versi cerita. Pertama, masjid ini memang didirikan oleh Muhammad Yusuf berdarah Tionghoa namun beragama Islam. Kedua, masjid ini dibangun secara bergotong royong dan dibantu oleh sebagian masyarakat Tionghoa. Namun dari kedua versi cerita diatas, tetap saja masjid ini sangat lengket dengan arsitektur budaya Tionghoa.
Disekitar masjid, terdapat puluhan hingga ratusan makam pejuang muslim Indonesia yang sampai saat ini dirawat dengan baik. Meskipun terdapat ratusan makam pejuang, namun suasana seram seakan tidak terlihat pada areal masjid, karena terdapat taman dengan rumput hijau serta pohon-pohon rindang yang sangat terawat.
Masjid Hidayatullah sudah mengalami 3 kali renovasi, yaitu pada tahun 1921, 1948, dan 1996. Masjid ini bahkan pernah akan digusur oleh pihak pengusaha Swasta pada tahun 1991, namun akhirnya tetap bisa dipertahankan oleh kaum muslimin sekitar masjid.
Sedangkan untuk Arsitekturnya, masjid ini terlihat memiliki Khas bangunan dengan ciri Tionghoa, yaitu memiliki atap bersusun tiga yang melengkung kebawah. Lalu terdapat 2 menara simetris yang biasanya menjadi khas dari kebudayaan agama Hindu di Jawa Tengah. Kemudian pada saat sudah masuk pada area bangunan utama masjid, nuansa betawi menjadi sangat kental, karena pintu-pintu serta jendela masjid diukir dan dibuat sedemikian rupa sesuai adat betawi.
Jendela dengan kisi terbuka dan tirai setinggi sepruh jendela sering kita temui pada rumah-rumah adat betawi. Kemudian pintu lebar dengan ukiran mawar yang menjadi pemersatu antara 8 tiang penyangga sangat khas dengan budaya betawi.
Bangunan utama yang diapit oleh dua menara dibagian depannya, memiliki mimbar yang diukir dengan hiasan khas flora fauna dengan tipe ukiran Tionghoa.
Menurut sebuah buku karya A. Heuken SJ “Masjid Tua Jakarta”, kemungkinan masjid ini didirikan pertama kali sebagai musholla atau masjid kecil. Kemudian dua menara kembar yang ada dibagian depan memang dibuat sedemikian rupa dengan arsitektur yang terkenal pada masanya. Arsitektur tersebut bisa juga dilihat di Kantor Imigrasi Menteng (1913), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (1926), yaitu jenis arsitektur yang berasal dari negara Persia.
Menurut pendapat lain, arsitektur pada seluruh bagian masjid, merupakan khas Babilonia, Persia, Betawi, dan Jawa. Kebiasaan pembangunan masjid di Pulau Jawa lebih sering menekankan pada titik simbolisasi, dan hal tersebut juga terjadi pada Masjid Hidayatullah. 2 menara kembar diibaratkan sebagai 2 kalimat syahadat, sedangkan 8 tiang penyangga diibaratkan sebagai 5 rukun islam dan 3 kepribadian muslim sebagai dasar kehidupan yang sempurna.