Masjid yang berlokasi di Jalan Masjid 1, RW 1 Kampung Melayu Kelurahan Kebon Baru, Tebet Jakarta Selatan ini diyakini sebagai bangunan masjid tertua yang berada di Jakarta. Masjid tersebut adalah masjid Jami’ Al-Atiq. Pada awal pembangunannya masjid tersebut merupakan sebuah mushola yang dibangun bagi para pasukan Banten yang menyerbu Batavia (Jakarta). Ternyata sebelumnya masjid Jami’ Al-Aqtiq bernama masjid Kandang Kuda karena berada di perkampungan tukang sado sehingga masyarakat sekitar memberikan nama masjid Kandang Kuda. Tapi setelah itu nama masjid tersebut berubah menjadi Masjid Jami’ Kampung Melayu. Namun pada era 1970 an Gubernur Ali Sadikin memberikan nama lain untuk masjid tersebut. Akhirnya dipilih lah nama Majid Jami’ Al-Atiq. Pemberian nama tersebut memiliki arti ‘tertua’ yang berasal dari kata ‘Al-Atiq’ sendiri. Hal tersebut menyesuaikan dengan bangunan masjid tersebut yang memang konon katanya merupakan masjid tertua di Jakarta.
Pada awal pembangunanmasjid Jami’ Al-Atiq tidak dapat ditemukan bukti secara rinci dan otentik. Namun disebutkan bahwa masjid Jami’ Al-Atiq mulai dibangun oleh Sultan Maulana Hasanudin yaitu seorang Sultan pertama dari Banten. Beliau berkuasa pada tahun 1552 hingga tahun 1570. Sultan Maulana Hasanudin juga merupakan seorang putra dari salah satu Wali Songo, yaitu Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cirebon.
Tetapi telah disebutkan juga dari sumber lain bahwa pembangunan masjid Jami’ Al-Atiq dibangun pada tahun 1632 M. Sedangkan pendirinya adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang pada saat itu sedang berperang melawan VOC. Hal tersebut diperkuat dengan bukti bahwa letak masjid Jami’ Al-Atiq yang berada persis di tepi kali Ciliwung. Pada zaman dahulu para tentara pejuang selalu memanfaatkan sungai yang biasanya digunakan sebagai transportasi atau bahkan untuk minum. Tak heran jika pada zaman itu juga banyak sekali tempat peristirahatan Raja yang dibangun di sekitar tepi sungai.
Tetapi bagi yang meyakini masjid Jami’ Al-Atiq dibangun pada masa Sultan Hasanudin yaitu mereka percaya bahwa dari arsitektur masjid tersebut memiliki kesamaan dengan beberapa masjid yang berada di Jawa Tengah buatan Wali Songo. Hal tersebut semakin membuat opini masyarakat semakin kuat. Namun bagaimanapun sejarah tahun pembangunannya, masjid Jami’ Al-Atiq tetap menjadi tempat ibadah yang selalu dikunjungi oleh warga sekitar.
Melihat dari arsitektur masjid Jami’ Al-Atiq, di dalam masjid tersebut tidak ditemukan berbagai hiasan mewah dan megah seperti bangunan masjid modern terutama bangunan masjid Timur Tengah dengan kubah besarnya serta menara yang menjulang tinggi. Pada awalnya bangunan masjid ini menggunakan empat penyangga atap dibagian tengah masjid yang menggunakan struktur dari kayu jati. Namun sekarang ke empat pilar tersebut tidak terlihat karena telah diganti menggunakan pilar beton. Meskipun sudah mengalami renovasi, tetapi pada hiasan serta pernak pernik masjid nya yang asli telah disimpan di museum sejarah Jakarta. Saat ini masjid Jami’ Al-Atiq terlihat lebih modern dibandingkan dengan desain bangunan sebelumnya. Meskipun begitu, masjid Jami’ Al-Atiq tetap mempertahankan unsur dari keaslian masjid tersebut.
Kini masjid Jami’ Al-Atiq memiliki dua lantai dengan ciri khas trisula yang berada di puncak menara masjid. Dengan luasnya serta kerapihan dan kebersihan masjid tersbut menjadikan masjid ini terlihat sangat terawat meskipun sudah ada sejak lama. Struktur bangunan masjid Jami’ Al-Atiq sangat mirip dengan masjid Demak. Meskipun merupakan masjid tertua, para jamaah masih mengunjungi masjid Jami’ Al-Atiq untuk melaksanakan ibadah shalat atau mengaji disamping tempatnya yang lumayan strategis berada di pinggir jalan.