Masjid yang memiliki nama “Al-Mashur” ini terletak di Jln. Sawah Lio II, Kampung Sawah Lio, Desa Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta. Msjid Al-Manshur ini dulunya dikenal dengan nama Masjid Kampung Sawah, sekaligus menjadi salah satu masjid tertua diwilayah Jakarta Barat. Bangunan masjid ini pertama kali dibangun pada tahun 1717 Masehi oleh Abdul Malik yaitu putra mahkota dari Pangeran Cakrajaya yang sebelumnya melakukan penyerangan terhadap militer Belanda yang berada di Batavia.
Kemudian, kiprah salah seorang pahlawan Nasional, KH. Muhammad Mansyur juga terjadi dalam proses renovasi masjid. Hingga saat ini, Masjid Jami’ Al-Mansyur menjadi salah satu cagar budaya dan sejarah yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Sejarah Masjid Jami’ Al-Mansyur – Kampung Sawah Lio
Pda tahun 1717 Masehi, pembangunan masjid mulai dirintis oleh Abdul Malik, salah seorang dari kerajaan mataram. Beliau juga merupakan putera dari Pangeran Cakrajaya. Lalu keturunan beliau yang bernama Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin memperbaiki letak mihrab masjid serta pembetulan arah kiblat pada tahun 1767.
Kemudian pada tahun 1937, KH. Muhammad Mansyur bin H. Imam Muhammad Damiri mengadakan perluasan bangunan masjid, serta penambahan pagar-pagar dan tembok untuk menjaga terpeliharanya kesucian dibangunann utama masjid dan komplek pemakaman disekitar masjid.
Pada masa-masa perjuangan kemerdekaan RI, masjid ini digunakan oleh KH. Muhammad Mansyur sebagai basis pejuang sekitar Tambora dalam menyusun strategi dan juga memantapkan mental untuk melawan penjajah. Bahkan, pernah terjadi baku tembak secara langsung didepan masjid ini, dimana para pejuang RI berlindung di masjid, sementara tentara NIC baru datang dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Baku tembak tersebut dipicu oleh tindakan frontal dan berani dari KH. Muhammad Mansyur yang mengibarkan Sang Merah Putih diatas kubah menara di Masjid Kampung Sawah Lio ini. Setelah peristiwa tersebut, KH. Muhammad Mansur ditahan dan wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Setelah beliau wafat, kepengurusan masjid ini dilanjutkan oleh Badan Panitia Kepengurusan Masjid Jami’ Al-Mansyur hingga saat ini. Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan dan keberanian KH. Muhammad Mansyur, pemerintah RI (setelah Merdeka) kemudian mengadopsi nama beliau sebagai nama Masjid tempat beliau berjuang dan mati secara syahid mempertahankan Islam dan Kemerdekaan.
Arsitektural Masjid Jami’ Al-Mansyur
Seni Bina Bangunan yang terlihat dari Masjid Jami’ Al-Mansyur merupakan gabungan dari berbagai macam gaya budaya seperti Jawa, Betawi, China dan Arab. Masjid ini memiliki atap joglo limas dengan dua tingkat lantai, serta ditopang oleh 4 pilar berdiameter 1,5 meter. Pada bagian jendela hanya seperti lubang kosong yang diamankan dengan teralis besi. Namun kini tembok jendela dan pintunya di majukan sejauh 10 meter, agar menjadi lebih luas.
Ruangan utama tempat sholat pada masjid ini berdenah segi empat, dengan 4 soko guru sebagai penopang rumahnya.
Jika kita lihat pada setengah ketinggian beberapa pilar, ada balok-balok kayu yang sengaja dipasang untuk menuju keloteng. Diatas balok-balok dengan lebar 55 cm tersebut, kini sudah dipasangi dengan pagar setinggi 80 cm.
Konstruksi pembngunan masjid ini mengambil budaya jawa pada pola soko gurunya, lalu adopsi betawi dari atap limas, lalu adopsi china pada bagian ornamen, dan adopsi arab dari berbagai kaligrafing terpasang. Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 60-an, dan hasilnya bisa kita lihat hingga sat ini, terbukti tetap kokoh .