Sejarah Kota Pontianak merupakan sejarah yang sangat panjang, dimulai dari abad ke-18 Syarif Abdurrahman Alkadrie membabat sebuah hutan untuk dijadikan sebuah pemukiman yang berkembang menjadi sebuah kesultanan, Kesultanan Pontianak.
Kesultanan Pontianak sendiri merupakan sebuah kesultanan yang dipimpin oleh Sultan Hamid II (Sultan Ke VIII), sekaligus menjadi sultan dan kesultanan terakhir sebelum bergabung di dalam Negara Republik Indonesia. Beliau juga merupakan salah satu penggagas ide Lembaga Garuda Pancasila yang kita miliki hingga sekarang.
Dikomplek keraton ini berdiri sebuah masjid yang megah nan indah dan masih kokoh sampai saat ini yaitu Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak, yang dibangun sendiri oleh Sultan Pertama dari Kesultanan Pontianak, yaitu Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Masjid tersebut bernaman Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman – Masjid Tertua di Kota Pontianak, sekaligus menjadi awal mula berdirinya kesultanan Pontianak. Tanggal berdiri nya masjid ini juga sekaligus menjadi tanggal hari lahir Kota Pontianak, Ibukota Provinsi Kalimantan Barat.
Masjid Sultan Abdurrahman terletak di wilayah Kampung Beting, Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasinya terletak di kawasan padat penduduk, sangat dekat dengan pasar ikan di Sungai Kapuas.
Arsitektural Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak
Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman memiliki denah segi empat dengan ukuran 33,27 x 27,74 meter, dikelilingi dengan pagar seputar masjid dan dapat menampung hingga sekitar 1,500 jamaah sekaligus. Bagian dalam ruang utama masjid dibagi menjadi 26 shaf, dan setiap shaf dapat menampung hingga 50 jamaah sekaligus.
Masjid ini terus penuh hingga saat ini, bahkan puncaknya terjadi pada bulan ramadhan, disaat sholat tarawih berjamaah dilakukan. Bangunan masjid ini dibuat dengan kayu bulian, dan dibangun seperti layaknya hunian lainnya yaitu berupa rumah panggung. Tiang-tiang masjid ini pada awalnya langsung ditanam ditanah, namun mempertimbangkan keawetan tiang masjid ini agar lebih bisa bertahan untuk waktu yang lama, akhirnya bagian bawah di Cor sedalam 50 Cm agar pelapukan pada kayu tidak terjadi.
Hampir keseluruhan bangunan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman terbuat dari bahan kayu bulian dengan dominasi warna kuning pada dinding kayu masjid ini. Sementara bagian plafonnya dicat dengan warna kehijauan. Warna kuning disini dimaksudkan sebagai lambang keagungan, sedangkan warna hijau melambangkan warna kebudayaan keislaman.
Pada bagian atap masjid bersusun empat dan ditutup dengan lembaran-lembaran kayu bulian yang berukuran sangat luas. Disela-sela atap dibuat jendela-jendela yang mengelilingi seluruh celah tersebut sebagai ventilasi udara, sekaligus sebagai cahaya pada siang hari.
Dibagian atap kedua terdapat teras yang luas dengan denah segi empat, lalu disetiap sudutnya diberi sebuah gardu. Gardu pada ke-empat sudutnya menurut masyarakat setempat dulunya digunakan sebagai tempat muadzin mengumandangkan adzan, namun ada satu versi yang mengatakan bahwa gardu tersebut digunakan sebagai simbol empat sahabat Rosulullah SAW.
Bagian teras di atas lapisan atap kedua mengelilingi sebuah unit bangunan, lalu diatasnya terdapat atap yang ketiga, dan diatasnya lagi ada unit atap terakhir yang bentuknya lebih kecil. Keseluruhan atap masjid ini memang dibentuk sedemikian rupa seperti lonceng.
Lalu, disediakan tiga pintu utama yang memiliki tinggi 3 meter sebagai akses untuk keluar dan masuk masjid. Pintu tersebut terletak di bagian depan, di kiri, dan di kanan ruang utama. Diantara 3 pintu besar utama tersebut, 20 pintu lain juga dibuat dengan ukuran yang lebih kecil dan tersebar diseluruh sudut ruangan utama.