Masjid Ki Ageng Henis Laweyan terletak di Jln. Liris No.1, Pajang Laweyan, Kampung Batik Laweyan, Dsn. Belukan, Ds. Pajang, Kec. Laweyan, Kabupaten Surakarta, Provinsi Jawa Tengah.
Berdiri di atas Bekas Pura
Beberapa budaya Islam dan Hindu pada zaman dahulu merupakan sejarah khas di Pulau Jawa, kedua agama tersebut memang memenuhi hampir seluruh aspek yang berada di tanah jawa. Bahkan, ada beberapa bangunan tempat ibadah yang mengadopsi kedua ciri khas agama tersebut seperti Masjid Ki Ageng Henis atau biasa dikenal dengan Masjid Laweyan yang terletak di Kota Solo, Jawa Tengah.
Masjid ini terletak di kampung Batik Laweyan Solo, sekaligus menjadi bukti sejarah akulturasi dari 2 agama sekaligus, yaitu agama Islam dan agama Hindu. Bagaimana tidak, bangunan masjid yang saat ini ada, sebelumnya merupakan suatu bangunan pura Hindu. Namun saat ini, bekas bangunan pura tersebut sudah tidak bisa ditemukan lagi keberadaannya, karena Masjid Ki Ageng Henis Laweyan sudah mengalami beberapa kali renovasi.
Masjid Laweyan menjadi masjid yang tertua di daerah kota Solo, pendiri masjid ini juga merupakan sosok cikal bakal penerus tahta di beberapa kerajaan yang terletak di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Nama masjid ini diadopsi kepada nama pendirinya yiatu Ki Ageng Henis, yang pada saat itu menjadi penasehat spiritual kesultanan Pajang.
Pada zaman dahulu, masjid Ki Ageng Henis Laweyan digunakan sebagai pusat pembelajaran agama Islam di kesultanan Pajang. Meski sebelumnya masjid ini menjadi masjid khusus untuk kasunanan Surakarta, namun saat ini masjid ini dibuka untuk umum, dan kepengurusan masjid dilakukan oleh para jamaah masjid.
Karena sebelumnya memang merupakan masjid kekeratoran beberapa Ritual-ritual keraton pun masih diselenggarakan di masjid ini, meskipun frekuensinya sudah sangat jarang. Masjid ini juga menjadi masjid pertama yang dibangun di wilayah Surakarta, tak heran masjid ini disebut sebagai pintu masuk bagi agama Islam di Surakarta.
Ada satu cerita rakyat yang menarik pada kampung tempat berdirinya masjid tersebut, yaitu pada zama dahulu ditempat tersebut berdiri sebuah pesantren yang sangat ramai pengikutnya, mereka semua ingin belajar agama islam pada sang kiai. Saking banyaknya, pesantren tersebut tidak pernah berhenti menanak nasi di “pawonan” dan selalu keluar asap yang mengepul dari dapur pesantren tersebut. kemudian julukan kampung belukan yang berarti kampung asap melekat pada tempat berdirinya Masjid Ki Ageng Henis Laweyan.
Saat ini, kampung tersebut digunakan sebagai sentral pembuatan batik yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari pusat kota Surakarta. Lalu, Laweyan sendiri berasal dari “Lawe” yang berarti benang atau pilinan kapas. Pada zaman tersebut, para petani di daerah pedan banyak sekali yang menghasilkan lawe, yang kemudian di proses di kampung ini.
Sebagai masjid yang usianya sudah sangat tua, Masjid Ki Ageng Henis Laweyan saat ini dijadikan sebagai kawasan cagar budaya nasional Indonesia. Beberapa situs-situs tua yang bisa ditemukan didaerah tersebut adalah : Masjid Laweyan, Makam Laweyan, langgar Makmoer, Langgar merdeka, serta Rumah H. Samanhudi, yang merupakan pendiri dari Serikat Dagang Islam. Kawasan Laweyan memang didesain sedemikian rupa dengan kecantikan dan keindahan kampung yang mampu menarik para wisatawan lokal maupun dari mancanegara. Apalagi ada Sentra Pembuatan Batik yang pastinya akan menambah ketertarikan dari para pengunjung, karena pengunjung dapat melihat langsung proses pembuatan batik dari mulai proses penggambaran, pewarnaan, bahkan hingga selesai.
Sekilas Sejarah Masjid Ki Ageng Henis Laweyan
Pembangunan masjid ini tidak bisa lepas dari pengaruh Ki Ageng Henis atau kakek dari Sultan Pakubuwono II yang bersahabat baik dengan salah seorang pendeta umat Hindu, Ki Beluk. Lambat laun, dari beberapa pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Ki Beluk mulai tertarik dengan ajaran Islam yang disebarkan oleh Ki Ageng Henis, yang juga merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga.
Setelah itu, Sang Pendeta tersebut langsung memeluk agama Islam dengan mengikrarkan 2 kalimat Syahadat. Bangunan Pura yang sebelumnya dijadikan tempat umat Hindu yang dipimpin oleh Ki Beluk akhirnya diserahkan kepada Ki Ageng Henis, untuk dirubah dan dialihfungsikan sebagai tempat ibadah umat muslim. Pada saat pertama kali diserahkan, bangunan pura tersebut merupakan bangunan yang relatif kecil, dan dirubah menjadi mushola. Seiring waktu berjalan, beberapa pemugaran dilakukan dan akhirnya bangunannya bisa disebut dengan masjid.
Masjid Laweyan ini menurut sejarah sudah berdiri sejak tahun 1546, pada masa Kerajaan Pajang, jauh sebelum berdirinya Kota dan Keraton Surakarta (1745 M). Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal dari kesultanan Mataram, namun akhirnya pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Ngayogyakarta. Ki Ageng Henis merupakan Imam di keraton Kesultanan pajang, yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau bisa disebut dengan Jaka Tingkir. Beliau adalah keturunan langsung dari Raja Majapahit, lalu keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di beberapa keraton Kasunanan dan Mataram.
Kawasan Laweyan dari dulu memang sangat terkenal dengan sentra batik, apalagi sejak kesultanan Pajang masih berjaya. Pada saat itu, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir menunjung Danang Sutawijaya sebagai Syahbandar . kemudian Danang Sutawijaya membuat Sungai Kabanaran menjadi salah satu urat nadi perdagangan yang penting bagi kesultanan Pajang.
Arsitektur Bangunan Masjid Ki Ageng Henis Laweyan
Keseluruhan bangunan yang masih asli dan berasal dari masa Jaka Tingkir merupakan barang yang sudah berusia ratusan tahun. Seperti sebuah kentongan besar yang usianya sudah ratusan tahun, namun saat ini jarang difungsikan dan hanya disimpan saja, karena sudah digantikan dengan bedug. Lalu ada pula 12 tiang utama masjid yang terbuat dari kayu jati. Tiga lorong jalur masuk pada bagian depan masjid menandakan 3 pedoman hidup yang harus dimiliki seseorang yaitu Islam, Iman dan Ihsan.
Perwujudan akulturasi budayanya sangat kental dengan bangunan masjid jawa dan pura Hindu. Pengaruh budaya hindu bisa dilihat dari letak bangunannya yang lebih tinggi daripada bangunan disekitarnya. Jika didalam masjid kita sudah tidak bisa menemukan ornamen khas Hindu, namun kita masih bisa menemukan beberapa hiasan khas hindu seperi ukiran-ukiran batu yang ditempatkan di makam kuno di sekitar komplek masjid.
Penataan ruang Masjid Laweyan juga mengadopsi budaya Jawa pada umumnya, dengan pembagian ruangan menjadi tiga, yaitu Ruang Induk Utama seluas 162 meter persegi, kemudian ditambah dengan serambi kiri dan serambi kanan. Pengaruh kerajaan pun juga ikut terasa yang bisa dilihat dari pendopo atau bangunan utama dan serambi.
Ciri Khas arsitektur Jawa juga dapat ditemukan dari bentuk atap masjid yang menggunakan tajuk atau bersusun. Kemudian Dinding Masjid Laweyan sudah direnovasi menggunakan batu bata dan semen, yaitu dilakukan pada tahun 1800-an. Sebelum di renovasi, hampir keseluruhan bangunan masjid terbuat dari bahan baku kayu.