Masjid Lautze terletak di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, tepatnya di Jln. Lautze Raya, No. 87-89, RT/Rw 10/03, Karanganyar, Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat, atau masuk pada kewasan etnis Tionghoa pasar baru. Ternyata selain keramaian orang berdagang dan berbelanja pada, pasar baru menyimpan syiar islam yang kental dalam masyarakat Tionghoa. Ruko (Rumah Toko) berjejer dengan megahnya disekitar pasar baru, namun ada juga tempat khusus ibadah umat islam yang berada pada salah satu ruko tersebut.
Jangan heran jika bentuk masjid Lautze sangat berbeda dengan kebanyakan masjid lainnya, karena memang desain yang dibuat menggunakan salah satu ruko pada pasar baru tersebut. Jika anda mengharapkan arsitek masjid megah lengkap dengan menaranya, anda tidak akan bisa menemuinya di masjid Lautzel.
Nama “Lautze” sendiri diambil dari tempat lokasinya, yaitu di jalan Lautze nomor 87-89. Pada awal berdirinya, pada tahun 1991, masjid ini memang sekedar mengontrak ruko, karena memang terkendala beberapa hal pada saat itu. Setelah tahun 1994, ruko itu dihibahkan oleh Wapres, BJ Habibie yang membelinya dari PT Abdi Bangsa.
BJ Habibie kemudian memberikan pengelolaan masjid kepada Yayasan Abdul Karin OEI, setelah mendapatkan hibah 1 ruko dari Wapres, yayasan kemudian mengambil inisiatif untuk membeli ruko disebelahnya untuk disatukan dengan masjid yang lama.
Ada yang unik dari tempat peribadatan muslim satu ini, Masjid Lautze dihiasi dengan ornamen-ornamen khas China yang memang menjadi adat istiadat serta kebudayaan asal pemeluknya. Ornamen, interior serta arsitektur masjid tampak didominasi oleh kebudayaan Tionghoa, seperti pintu masjidnya yang serupa dengan pintu vihara ataupun klentheng (tempat peribadatan umat budha).
Pada bagian depan masjid terlihat sangat oriental, sementara dibelakang mimbar terdapat sepasang kaligrafi indah khas Shu Fa (Kaligrafi Tionghoa asli buatan Beijing). Untuk penyangga masjid terdapat beberapa tiang yang berdiri dengan kokoh diberi sentuhan warna hijau, sedangkan sebagai penyejuk ruangan masjid ini dilengkapi dengan 6 kipas angin pada penjuru ruangannya.
Corak berbagai ornamen serta interior masjid memang sengaja disamakan dengan Klentheng atau Vihara. Tujuan utamanya adalah, agar masyarakat etnis Tionghoa tidak canggung untuk datang ke masjid ini.
Hampir seluruh bangunan masjid di cat dengan perpaduan warna kuning dan merah khas Etnis Tionghoa, kemudian pada depan masjid terdapat separuh kubah yang terbuat dari besi berwarna merah. Hal ini dilakukan agar ada perbedaan antara ruko tempat berjualan, dengan ruko yang digunakan sebagai tempat ibadah umat muslim.
Lampu-lampu lampion juga turut menghiasi beberapa sudut dalam masjid, kemudian mihrab imam juga dibuat 1/75 lingkaran seperti umumnya pembatas ruangan kamar tionghoa.
Masjid dengan bentuk ruko ini memiliki empat tingkat lantai. Lantai pertama dan kedua adalah lantai utama yang bisa digunakan untuk shalat, khususnya shalat Jum’at. Sedangkan lantai ketiga digunakan sebagai kantor sekretariat/ administrasi yayasan, serta tempat konsultasi agama atau bimbingan masuk islam. Lantai terakhir digunakan untuk ruang serba guna, kadang bisa diaplikasikan sebagai ruang pertemuan, ataupun untuk berkumpul pada saat buka puasa bersama, bahkan ada yang menggunakan ruangan ini sebagai ruang tata cara pernikahan dan resepsi pernikahan.
Selain sebagai tempat ibadah, fungsi lain dari Masjid Lautze ini adalah sebagai pusat informasi islam khusus bagi warga etnis Tionghoa. Ada 3 cabang Masjid Lautze sampai saat ini, yaitu Cabang Tangerang, Cirebon dan Bandung.