Jika kita bisa menyempatkan diri berkunjung pada Masjid Lawang Kidul yang terletak di Jln. Slamet Riyadi, Lorong Masjid Lawang Kidul, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, kita pasti akan merasakan suasana seperti kembali kepada masa-masa penyiaran agama islam di wilayah Sumatera Selatan pada akhir abad ke-18 Masehi.
Masjid ini dibangun pada tanggal 06 Syawal 1310 Hijriyah atau 23 April 1893 Masehi diatas tanah Waqaf Alm. Kiai Marogan. Masjid ini menjadi salah satu dari tiga masjid tua yang ada di daerah Sumatera Selatan yaitu Masjid Agung Palembang atau biasa disebut dengan Masjid Sultan Mahmud Badaruddin II, dan juga Masjid Ki Marogan.
Masjid Ki Marogan dan Masjid Lawang Kidul merupakan masjid yang sama-sama dibangun oleh Kiai Marogan di abad dan era perjuangan yang hampir bersamaan. Masjid Laawng Kidul persis berada di tepian Sungai Musi, kelurahan Lawang Kidul, Kec. Iliir Timur II, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Lokasinya disebelah Pelabuhan Boom Baru, yaitu pelabuhan tua yang berada di tepian Sungai Musi yang masih di fungsikan hingga saat ini.
Karena Masjid Lawang Kidul saat ini dihimpit oleh pemukiman penduduk, jalan akses masuknya pun sudah menyempit, yaitu dari Jalan Slamet Riyadi menuju gerbang Pelabuhan Boom Baru anda akan menemukan Lorong atau Gang Masjid Lawang Kidul, tepatnya disisi kanan jalan raya anda bisa menemuan plakat dengan tulisan Masjid lawang Kidul. Gang tersebut hanya cukup dilalui oleh beberapa sepeda motor saja, atau 1 mobil dari 1 arah saja, karena memang saat ini disekitar wilayah tersebut terdapat pemukiman warga yang padat.
Untuk menuju areal masjid dari Gang tersebut, jaraknya tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter saja dan anda sudah bisa menemukan gerbang dengan tulisan “Masjid Lawang Kidul”. Warga sekitar masjid juga sangat ramah jika ada seseorang yang ingin bertanya dimana letak Masjid Lawang Kidul tersebut.
Warisan Sejarah Islam di Masa Lalu
Masjid ini merupakan sebuah situs sejarah yang masih asli dari masa penyebaran Islam pada akhir abad ke-18 Masehi. Para penduduk sekitar sengaja untuk tetap mempertahankan bentuk bangunan serta arsitektur dan ornamen masjid seperti asilnya meskipun sudah mengalami beberapa kali renovasi. Arsitektur bangunannya pun hampir sama persis dengan Masjid Sultan Palembang yang pada masanya menjadi masjid resmi kesultanan Palembang.
Untuk arsitektur bangunan utamanya berbentuk segi empat dengan atap limas bersusun tiga, mirip dengan Masjid Agung Demak. Kemiripan antara Masjid Lawang Kidul dan Masjid Agung Demak memang bisa dimaklumi, karena pada masa itu Masjid Lawang Kidul berdiri setelah Masjid Agung Demak, apalagi Raden Fatah sebagai sultan pertama di Kesultanan Demand merupakan Putra Prabu Brawijaya dari Majapahit yang lahir dan tumbuh di daerah Palembang.
Meski Hampir Mirip, namun Masjid Lawang Kidul tetap memiliki ciri khasnya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari arsitektur bagian atap yang mirip seperti bangungan Kelenteng. Ornamen / hiasan yang mirip dengan tanduk / duir menjadi ciri khas bangunan atap dengan jumlah rata-rata 12 tanduk dimasing-masing sisinya. Ornamen khas kebudayaan Palembang juga ikut menghiasai lisplang atau sisi bawah bagian atapnya.
Ornamen pada puncak atap sangat khas, yaitu dengan bangunan kubah kecil dihiasi dengan 3 tanduk di puncaknya, ditambah dengan ornamen Bulan dan Bintang seperti kebanyakan masjid pada umumnya. Ornamen Bulan dan Bintang tersebut agak berbeda karena dihiasi warna keemasan, dengan bentuk bulan yang tidak ramping seperti kebanyakan ornamen masjid turki.
Mihrab pada masjid ini dibangun seperti kebanyakan masjid yaitu menjorok keluar dari bangunan utama, namun yang unik adalah terdapat pintu akses masuk tersendiri pada bagian mihrabnya. Atap dari ruangan Mihrab juga terbilang unik, karena juga ditambahkan dengan ornamen khas dibagian puncaknya.
Dibagian samping bangunan Masjid Lawang Kidul terdapat satu menara yang dibangun tidak terlalu tinggi dengan ujung atap yang lancip, hampir sama dengan bangunan utama masjid, dengan bertingkat tiga. Tingkat 1 dan 2 di bangun sebuah gazebo yang semakin mengecil, kemudian tingkat ke-3 tidak diberikan ruangan apapun. Dulunya, gazebo tingkat ke-2 digunakan oleh muadzin sebagai tempat mengumandangkan adzan, namun saat ini sudah tidak digunakan lagi karena digantikan dengan teknologi pengeras suara.
Sebelum dilakukan renovasi pada bangunan utama dengan menambahkan bangunan tambahan disisi bagian selatan, menara tersebut bisa terlihat dengan jelas. Namun saat ini menara tersebut tingginya hampir sama dengan bangunan utama sehingga tidak terlalu terlihat lagi sebagai bangunan lain, malah lebih terlihat sebagai kesatuan dengan bangunan aslinya. Jika dilihat dari bagian dalam masjid, hanya terlihat 2 buah pilar yang terbuat dari kayu sebagai penyangga masjid, sedangkan bagian bawah dan anak tangganya sudah dibongkar.
Pada bagian depan bangunan Mihrab, terdapat sebuah prasasti yang diukir bertuliskan surat akta wakaf dari Kiai Marogan / Merogan dengan tulisan aksara arab gundul, kemudian disekeliling areal masjid juga turut dipasang beberapa tanda pembatas tanah wakaf agar tidak bisa diganggu gugat oleh masyarakat sekitar.
Pada zaman dulu, disekitar areal masjid dibangun fasilitas dermaga kecil ditepian sungai musi yang dinamakan “Tangga Raja”, karena memang dulunya tangga tersebut digunakan oleh keluarga kesultanan untuk berkunjung ke masjid ini. Namun dermaga kecil tersebut saat ini sudah tidak difungsikan lagi karena sudah mengalami kerusakan, sebagai gantinya dibangunlah sebuah dermaga kecil dibelakang masjid sebagai akses untuk warga yang tinggal di seberang sungai musi.
Jika kita mengintip dari belakang masjid, kita akan disuguhi pemandangan yang tidak mungkin dimiliki masjid lain pada umumnya yaitu, pemandangan kapal-kapal yang bersandar di Pelabuhan Boom Baru, ataupun kapal-kapal masyarakat sekitar yang sedang melakukan aktifitasnya di Sungai Musi. Sungai Musi sendiri adalah salah satu sungai terpanjang dan terbesar di Indonesia, yang memiliki rata-rata lebar 1 kilometer. Selain itu, kita juga bisa melihat pemandangan SPBU terapung milik pertamina yang pastinya tidak ada di areal masjid lain di Indonesia.
Jika kita memandang masjid ini dari sisi dermaga, maka pemandangan yang unik juga dapat kita nikmati. Menara masjid yang bersebelahan dengan menara pengawas di Pelabuhan Boom Baru, serta menara telekomunikasi yang syarat dengan teknologi modern menunjukkan pada kita bahwa meskipun peradaban sudah maju, tetap mempertahankan sejarah bukanlah sesuatu yang sulit, apalagi bagian sejarah tersebut sudah berumur ratusan tahun seperti Masjid Lawang Kidul.
Masyarakat disekitar Masjid Lawang Kidul memang perlu diacungi jempol. Bagaimana tidak, di zaman yang sudah serba modern seperti ini, ternyata pendirian masyarakat setempat masih sangat kuat dalam mempertahankan keaslian dari ciri khas bangunan masjid ini. Meskipun terkesan bangunan yang sudah sangat kuno, masyarakat masih sangat menghargai bagaimana sejarah yang dimiliki masjid ini, serta penyebaran islam yang dilakukan oleh Kiai Merogan, sehingga masyarakat Lawang Kidul bisa menikmati indahnya beragama Islam.
Interior Masjid Lawang Kidul
Hampir secara keseluruhan bagian masjid ini didominasi dengan warna putih, dan warna asli coklat kayu, mulai dari bagian atap hingga lantai bagian lantai masjid yang dilapisi dengan marmer. Bagian dindingnya ditutup dengan keramik berwarna hijau lumut.
Disetiap bagian sisi masjid terdapat 6 pintu besar dengan dua daun pintu yang di cat dengan warna putih mulus, kemudian di sisi mihrab ada empat jendela besar yang terdiri dari 2 jendela bagian atas dan 2 lainnya dibagian bawah.
Jika kita melihat dibagian dalam masjid, maka akan terasa sangat lega karena atap limasnya diletakkan begitu tinggi, di topang oleh 4 soko guru dengan ketinggian 8 meter. Soko guru tersebut menopang kayu penyanggah berukuran 20 meter. Seluruh interior kayunya terbuat dari kayu Ulin Asli.
Ruangan utama bangunan asli masjid hanya sebesar 20 x 20 meter saja, namun setelah renovasi ada tambahan ruangan lagi menjadi 40 x 41 meter. Sebagai sumber cahaya utama, diletakkan sebuah lampu gantung dengan ukurang besar di bagian tengah ruangan serta beberapa lampu gantung kecil di sekelilingnya.
Sekilas Sejarah Pembangunan Masjid Lawang Kidul
Seperti yang sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya bahwa Masjid Lawang Kidul yang berdiri diatas lahan seluas 2.104 meter persegi ini merupakan wakaf dari Kiai Marogan / Merogan yang di ikrarkan pada tanggal 06 Syawal 1310 Hijriyah / 1890 Masehi.
Nama lengkap Kiai Marogan adalah Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud. Didaerah tersebut beliau lebih dikenal sebagai “Kiai Marogan” mengingat pusat aktifitas dakwah beliau adalah di sekitar muara sungai Ogan, Seberang Ulu, yaitu salah satu anak sungai Musi.
Masjid ini mengalami pemuragan pada tahun 1983 hingga 1987. Sebagaian besar material asli masih dipertahankan sampai sekarang, namun ada beberapa bagian yang terpaksa memang harus diganti karena sudah termakan oleh usia, seperti atapnya yang diganti dengan genteng kodok yang sebelumnya menggunakan atap genteng belah bamboo. Menurut beberapa sumber, material bangunan asli masjid ini adalah campuran pasir, kapur dan telur. Kemudian untuk bahan kayu yang digunakan untuk berbagai macam bagian masjid sepeti pintu, soko guru, jendela, tiang penyanggah dan lain-lain berasal dari kayu Ulin atau Kayu Onglen.
Kemudian renovasi kembali dilakukan pada tahun 2008 hingga tahun 2012 dengan menambahkan beberapa bangunan tambahan agar masjid menjadi lebih luas. Dana yang dihabiskan untuk pembangunan bangunan tambahan sebesar Rp.1 miliar yang berasal dari sodaqoh jariyah masyarakat setempat.
Seluk Beluk Kiai Marogan
Kiai Merogan atau K. Anang, atau Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud lahir pada tahun 1811 dan wafat pada tahun 1901. Beliau merupakan keturunan dari seorang ulama dan pedagang yang sukses merantau ke mekah. Beliau cukup lama tinggal di Mekkah, kemudian pulang ke negeri Indonesia untuk mulai menyebarkan Islam di daerah Sumatera Selatan.
Selain Masjid Lawang Kidul ada beberapa peninggalan lain yang dibangun sendiri oleh Kiai Marogan seperti Masjid Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir dan Masjid Kiai Merogan.
Beliau merupakan seorang ulama yang gigih dalam penyebaran agama Islam. Pada saat itu fasilitas yang digunakan untuk berkeliling wilayah Ogan, Sungai Ulu adalah dengan perahu rakit saja. Namun berkat kegigihan beliau dalam menyebarkan syiar islam, akhirnya hampir seluruh masyarakat di wilayah Ogan sudah memeluk Islam sampai sekarang.