Masjid Lubur Bauk atau masyarakat setempat menyebutnya dengan “Surau Lubuk Bauk”, terletak di daerah Nagari Lubuk Bauk, Batipuh Baruh, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Suaru ini pertama kali dibangun pada tahun 1896 dan rampung pada tahun 1901, membutuhkan waktu pembangunan sekitar 5 tahun.
Sebelumnya, tidak banyak yang mengenal Surau Lubuk Bauk ini, kemudian masjid ini dijadikan salah satu lokasi syuting film berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wjk” yang dipublikasikan pada tahun 1938. Akhirnya, masjid ini kembali dikenal oleh masyarakat nusantara dari film yang diangkat dari karya novel Buya Hamka.
Menurut sejarah, Buya Hamka pernah belajar mengaji di surau ini dari tahun 1925 hingga tahun 1928. Akhirnya jalan disekitar Surau tersebut dinamai dengan Jl. Dr. Hamka, karena jasanya mengenalkan kembali masjid Lubuk Bauk kepada masyarakat Indonesia.
Menurut cerita masyarakat setempat, Surau Lubuk Bauk didirikan pada tahun 1896 oleh para ninik mamak yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku di atas tanah yang diwakafkan oleh Datuk Bandaro Panjang.
Surau Lubuk Bauk ini selain difungsikan untuk tempat ibadah umat islam, juga dikhususkan untuk menjadi pusat pendidikan non-formal masyarakat Minangkabau seperti belajar mengaji dll.
Sedangkan untuk arsitekturnya, dibangun sepenuhnya menggunakan bahan baku utama kayu Surian, dengan luas 154 meter persegi, dan tinggi bangunan mencapai 13 meter. Corak bangunan dari Koto Piliang juta ikut dimasukkan pada konstruksi atap dan menara. Dengan konstruksi dengan bahan baku kayu Surian membuat tempat ini terhindar dari kerusakan yang berarti, walupun beberapa gempa besar dan angin kencang sudah sering terjadi pada wilayah itu.
Bangunan Surau berbentuk bujur sangkar, dengan total luas 154 meter persegi, dibantu dengan 30 tiang kayu penyangga segi delapan sebagai penopang bangunan yang saling terhubung tanpa paku besi. Lantai surau ini memiliki luas 13 x 13 meter, ditinggikan 1,4 meter dari permukaan tanah agar terhindar dari kelembaban tanah di wilayah tersebut. Kolong dibawah lantai di bentuk dengan lengkungan dengan bagian atas dihiasi berbagai ukiran dan pola tanaman sulur-suluran.
Mihrab didesain menjorok ke luar, dengan ukuran 4 x 2,5 meter dengan naungan atap Gonjong,yaitu atap yang biasanya terdapat pada rumah Gadang. Pada setiap sisi ruangan diberi jendela kecuali pada Mihrab, dan pintu masuk terletak di sebelah timur, sejajar dengan Mihrab. Pada bagian tepi atas pintu terdapat tulisan “Basmalah” yang diukir dengan unik, serta ditutup dengan bilah papan pada bagian belakangnya.
Surau Lubuk bauk memiliki tiga tingkat, yaitu lantai pertama memiliki luas 13 x 13 meter, sedangkan lanti dua 10 x 7,5 meter, dan lantai tiga memiliki ukuran 3,50 x 3,50 meter.
Kemudian, keunikan yang dimiliki Surau ini bisa dilihat dari ukiran khas Minangkabau serta Cap Izin Belanda yang disimbolkan dengan Mahkota Kerajaan. Cap Mahkota Kerajaan tersebut di ukir pada dinding gonjong surau, dan hampir setiap ukiran memiliki motif kaluak paku, ukiran aka cino, hingga motif lain seperti itiak pulang patang. Semua ukiran-ukiran unik tersebut memiliki filosifi arti sendiri, yang kesemuanya tetap berhubungan dengan tatanan hidup masyarakat dengan agama islam.
Sedangkan untuk bagian atap terbuat dari seng bersusun tiga, tingkat pertama dan kedua memiliki bentuk limas dengan permukaan cekung, sedangkan tingkat terakhir didesain silang dengan gonjong di ke empat sisinya.
Susunan atap dengan bangunan menara melambangkan falsafah hidup masyarakat sekitar, bahkan konon organisasi Muhammadiyah pada awal perkembangannya bertempat di Lubuk Bauk, kemudian menyebar sampai kauman Padang Panjang.