Masjid Sendang Dhuwur sudah berusia lebih dari 470 tahun, dan menjadi masjid tertua di Lamongan. Terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Masjid ini merupakan saksi sejarah perjuangan penyebaran Islam di daerah Lamongan yang dilakukan oleh “Sunan Sendang Dhuwur”. Meskipun usianya yang sudah lebih dari 4,5 abad, bangunan masjid ini sampai sekarang masih berdiri kokoh, sehingga bukti penyebaran Islam di Lamongan dan Tuban bisa di ingat-ingat sampai sekarang.
Meskipun sudah mengalami tahap renovasi pada tahun 1920-an, arsitektur masjid ini masih tampak seperti aslinya, karena memang masyarakat sekitara tidak ingin peninggalan Sunan Sendang Dhuwur tersebut hilang. Beberapa peninggalan sejaranh yang sudah berusia ratusan tahun di masjid ini adalah Mimbar, Gentong tempat air minum dan Beduk Kulit.
Konon menurut cerita masyarakat setempat, diyakini bahwa masjid ini dibangun dalam waktu satu malam saja oleh Sunan Sendang Dhuwur, beliau memindahkan bangunan masjid dari Mantingan, Jepara, Jawa Tengah ke Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Lamongan Jawa Timur. Masjid ini juga kerap disebut dengan masjid Tiban, karena dari cerita tersebut masjid ini seperti benar-benar muncul begitu saja dalam satu malam. Masjid Sendang Dhuwur juga menjadi salah satu masjid Wali yang masih terawat dengan baik dan difungsikan sampai saat ini selain Masjid Sunan Ampel dan Masjid Sunan Giri.
Lalu siapakah Sunan Sendang Dhuwur ini?, Sunan Sendang Dhuwur memiliki nama asli Raden Noer Rahmad, yaitu putra dari Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid kelahiran Baghdad (Irak). Raden Nur Rahmad wafat pada tahun 1585 M, bisa dipastikan dengan mellihat ukiran yang terdapat pada dinding makam beliau di sebelah Masjid Sendang Dhuwur. Beliau merupakan tokoh yang sangat dihormati karena kharismanya yang begitu tinggi, konon bisa disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.
Ada beberapa versi yang mengatakan bahwa Sunan Sendang Dhuwur adalah murid dari Sunan Drajat, namun ada pula versi yang mengatakan bahwa beliau bukan merupakan wali dari sunan tersebut. namun pada akhirnya kesimpulan sama disepakati yaitu beliau di akui oleh Sunan Drajat sebagai Sunan Sendang Dhuwur.
Pada saat sudah menjadi sunan, Raden Noer ingin membangun sebuah masjid di Desa Sendang Dhuwur, namun tidak memiliki bahan bangunan apapun. Masalah tersebut kemudian disampaikan kepada Sunan Kalijogo, kemudian sang sunan memberikan sarannya dan menunjukkan kearah Ratu Kalinyamat / Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang pada saat itu sudah memiliki masjid.
Setelah itu, Sunan Drajat kemudian memerintahkan Sunan Sendang Dhuwur untuk Sowan / Mengunjungi Mbok Rondo Mantingan (sebutan Ratu Kalinyamat pada saat itu). kemudian sang ratu berkata (dalam versi bahasa indonesia, karena awalnya bahasa yang digunakan adalah bahasa indonesia), “Saya tidak akan menjual masjid ini, namun suamiku berpesan bahwa barang siapa yang sanggup memboyong masjid ini seketika dalam waktu satu malam saja dalam keadaan utuh, orang tersebut dapat memilikinya”.
Mendengar jabawan dari sang ratu, akhirnya Sunan Sendang Dhuwur tertantang, lalu meminta izin Allah SWT untuk dapat memboyong masjid tersebut ke Desa Sendang Dhuwur dalam waktu tidak lebih dari satu malam saja. Akhirnya doa tersebut terkabul, dan atas Izin Allah SWT, masjid tersebut berpindah di desa Sendang Dhuwur pada tahun 1561 Masehi.
Sampai saat ini, masjid Sendang Dhuwur sudah berumur lebih dari 470 tahun, karena usianya yang sudah tua, beberapa bagian bangunan masjid yang terbuat dari kayu, terpaksa harus di ganti, namun bahan aslinya tetap di simpan di lokasi tersebut. Hingga saat ini, para peziarah masih bisa melihat arsitektur asli dari masjid yang dibangun 4 abad yang lalu.